Tuesday, January 28, 2014

Cara Baru Menikmati Perjalanan.

Dimana pun terdapat orang hidup, kita berhak hidup disana. Mempelajari gaya hidup mereka, agar kita tidak sombong dengan gaya hidup kita sendiri.

Ini bukan malam biasa bagiku. Bukan biasa karena malam ini aku sedang berada di ibukota Kamboja, Phnom Penh. Bukan biasa karena aku sedang melawan kebisingan yang saling sahut-sahutan tepat dari seberang hostel tempat aku menginap. Aku sedang ingin beristirahat malam itu.

Lelah melawan, aku memutuskan untuk melihat apa yang sedang terjadi di sebrang jalan sekaligus sebrang sungai besar yang membelah kota Phnom Penh. Tidak butuh banyak waktu, aku sudah tepat di depan gerbang hostel. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat dan aku dengar, terlebih apa yang aku rasakan.

Warga lokal yang terdiri dari anak-anak kecil, anak baru gede, bapak-bapak, ibu-ibu sampai orang lanjut usia sedang kompak mengikuti pemandu senam berjoget ria. Saat itu, ada dua kelompok besar yang menyetel soundnya masing-masing denga keras. Aku terus tersenyum sambil sesekali mengambil gambar situasi unik ini. Setelah berpikir panjang dan membuang rasa ragu, aku putuskan bergabung dengan mereka untuk merasakan apa yang mereka rasakan. Ini sehat sekaligus bahagia dengan musik-musik bahagia.

Rasa bahagia tersebut jelas tidak akan bisa kita rasakan jika terus-menerus mengikuti pakem industri perjalanan yang sedang marak dan cenderung merusak ini. Rasa bahagia dan mempelajari tersebut haruslah kita jemput, harus kita yang mendatangi. Bagaimana menjemputnya?

Di hari yang lainnya, aku dan kawan seperjalanan sudah cukup lelah dan lapar melakoni tur 1 hari di Angkor Wat. Ditambah, kami bertiga memang sangat kurang tidur karena  tenggelam di serunya Siem Reap malam hari tadi. Perut terus memberi kode tanda harus diisi, aku putuskan untuk tidak makan “jajanan” yang berderet di dekat kawasan wisata Angkor.

Kami terus mengayuh sepeda pinjaman dari hostel menjauh dari Angkor Wat, sambil melihat-lihat situasu kota purba ini. Sudah sampai puncak lapar dan lelah kami, nyaris kami melewati warung kecil di pinggir jalan. Tanpa pikir panjang, kami bertiga langsung memarkirkan sepeda sembarangan. Tanpa disuruh juga, Nando langsung bertanya “you have a noodles?” Moon sang pemilik warung yang sehari-harinya “menarik” tuk-tuk mempersilahkan kami untuk duduk. Mie akan dimasak segera.



Tanpa ada komando, Moon menawarkan kami makanan yang sedang dia makan. Pong Tia Koon nama jenis makanan lokal tersebut. Ya, di dunia makanan tersebut lebih dikenal sebagai “Baluth”. “Baby duck inside!!” Moon sedikit berteriak dengan menunjukkan telur yang ditawarkan kepada kami bertiga. Sontak, kami langsung bertatapan, tatapan penuh keraguan dan keinginan, tentu juga penuh dengan “Lo dong duluan!!” “kalo lo makan, gue makan, nih!”.

Nando langsung mengambil inisiatif mencoba Pong Tia Koon dan berharap aku menepati janji untuk memakannya juga setelah dia. Nuky? Sedang sibuk membersihkan tumpahan mie instan yang tumpah seluruhnya tepat di depan dia. Nuky sama sekali tidak berminat.

Moon kemudian melubangi telur tersebut untuk sekedar dilihat. Nando malah makin mantap tanpa ragu sedikit pun. Aku? Tentu harus menepati janji makan “baby duck inside” juga. Katanya, selain omongannya (janji) laki-laki tidak ada lagi yang bisa dipegang.


Sluuurrrrppppp!!!! Nando menyedot nyaris habis Pong Tia Koon. Aku langsung mengangkat tangan ke arah Moon sebagai isyarat “One more egg, please..!!”.

Rasa dan sensasinya benar-benar gurih, nyaris seperti telur setengah matang yang sering disajikan di pinggiran jalan Jakarta. Disajikan m daun kemangi tentu menghilangkan sedikit bau amis yang dikeluarkan “si baby”. Sensasi mencoba makanan lokal memang tidak ada duanya dalam dunia perjalanan. Dan, mencoba makanan lokal dengan orang-orang lokal memang tidak pernah amis (hiraukan). Hehehe.

Saat makan siang tadi, Moon sempat bercerita tentang wanita (cantik) Jepang yang sedang beristirahat di balenya. Wanita Jepang itu sedang tidak enak badan, yang membuat Moon harus menyediakan tempat beristirahat buat si wanita Jepang tersebut. Beberapa hari ini, Moon memang jadi teman perjalanan bagi wanita Jepang tersebut. Kataku, beruntung sekali si Wanita Jepang itu bisa berkeliling Siem Reap ditemani Moon yang asli Siem Reap!!! Iri sekali!!!

Bergabung untuk menari dan berjoged malam hari dengan warga lokal yang seperti aku rasakan (Activities Withlocals), makan jajanan lokal dengan orang lokal seperti yang aku dan Nando lakukan tadi (Eat Withlocals), bahkan bercengkerama sambil melakukan perjalanan ke destinasi-destinasi tertentu dengan para penduduk lokal seperti yang dialami oleh wanita Jepang tersebut (Tours Withlocals) adalah cara terindah dalam menikmati perjalanan, setidaknya ini menurutku. Aku berharap kalian juga merasakan hal yang sama.

Hal-hal di atas Activities Withlocals, Eat Withlocals dan Tours Withlocals ternyata bisa aku dapatkan dengan mudah jika menggunakan withlocals. Di withlocals aku dapat bertindak sebagai host atau pun sebagai guest, ini jelas sesuatu yang beda. Aku akan dengan mudah berjumpa dengan para pejalan dari belahan dunia mana pun yang bergabung di withlocals. Sesekali menjadi “penerima tamu” di daerah sendiri, sesekali menjadi “tamu” di daerah orang, tentu sangat menambah wawasan dan kebahagiaan, bukan?

Langsung bersentuhan dengan orang lokal saat perjalanan tentu saja memberikan dampak yang sangat besar dan lebih emosional. Roda perekonomian kita dan para penduduk lokal akan bergerak begitu cepat. Ini industri perjalanan model paling mutakhir menurutku. Bisa jadi, akan menenggelamkan model industri perjalanan yang telah ada. Karena, bersentuhan langsung dengan penduduk lokal adalah mimpi semua orang yang berjalan di muka bumi ini.


Bagaimana? Ingin merasakan sensasi lain dari sebuah perjalanan di Somewhere in Asia? Aku dan kamu bisa langsung terjun bebas ke withlocals.com sekarang juga!

2 comments:

  1. keren....penting juga menikmati perjalanan

    ReplyDelete
  2. Sekarang banyak banget situs2 sejenin yg menawarkan kebersamaan dengan warga lokal

    ReplyDelete