Thursday, November 27, 2014

Gunung Ketiga-ku, Prau!!! (Lanjutan)

Kira-kira sudah 4 jam kami berjalan, jika melihat google, harusnya kita sudah sampai di camp detik ini. 

Tapi perjalanan memberikan peran yang lain kepada kami, 4 jam belum cukup! Setelah tanjakan bertubi-tubi tadi, kali ini adalah turunan santai diselingi dengan beberapa tanjakan unyu di padang savana.

Sebagian pendaki yang serombongan menunaikan perjalanan nyaris 6 jam, sebagaian yang lain termasuk saya, lebih memilih nyaris 7 jam. Nemenin para pejalan santai di belakang. Mereka tidak butuh apa-apa, hanya butuh teman tertawa saat berjalan lelah ke tenda.

Wednesday, November 26, 2014

Gunung Ketiga-ku, Prau!!!

Kali ini adalah Gunung Prau yang menjadi target pendakian gunung-ku yang ketiga. Gunung yang beberapa waktu belakangan ini menjadi headline di kalangan para pendaki. Tidak ketinggalan, yang bukan pendaki pun berbondong-bondong berkunjung ke Prau.

Sependengaranku, ada dua jalur utama untuk sampai di puncak Gunung Prau. Jalur pertama adalah jalur Patak Banteng, jalur yang biasa dilalui oleh para pendaki gunung. Selain treknya lumayan menantang, jalur ini juga diyakini lebih cepat daripada pesaingnya.

Jalur kedua adalah jalur yang aku dan kawan-kawan gunakan untuk mendaki Gunung Prau. Meski lebih panjang, trek yang satu ini lebih ramah untuk para pemula seperti aku. Memang, untuk urusan mendaki gunung, aku bisa dikatakan pendatang baru.

Monday, October 6, 2014

Puncak keduaku, Rinjani! (lanjutan)

Siang ini sangat melelahkan dan lapar.
Setelah baru tiba di Pelawangan Sembalun dari puncak Rinjani (3 jam), aku langsung membaringkan badan di tanah, dekat tenda. Ketua porter langsung memberi aku roti dan lain-lain (lupa aja aja). Perut memang sudah tidak bisa kompromi.

Bersantai di atas tanah, merasakan sentuhan angin dan suara indah benturan dedaunan, sambil mengingat kejadian beberapa saat lalu saat pendakian ke puncak benar-benar suasana sempurna. Sambil menunggu makan siang masak, aku terus bertanya-tanya “bagaimana bisa tadi sampai ke puncak!!??”.

Wednesday, September 24, 2014

Puncak keduaku, Rinjani!


Aku mendapat kesempatan memimpin perjalanan rombongan @TripHemat mendaki gunung api tertinggi ke-2 di Indonesia, salah satu simbol kedahsyatan Pulau Lombok di Nusa Tenggara Barat.

Pendakian dimulai tanggal 26 Mei 2014 dari Desa Sembalun yang menjadi tempat kami bermalam sebelum pendakian benar-benar dimulai. Sembilan pendaki (termasuk aku) melakukan pendakian  bersama beberapa guide dan tim porter Gunung Rinjani. Dengan sedikit arahan dan lantunan doa, akhirnya rombongan pun melangkah santai membelah “Jalur Sembalun”.

Tidak salah memilih Jalur Sembalun  sebagai jalur pemberangkatan. Hamparan savana yang sangat luas, membuat awal pendakian begitu menyenangkan, walau panas matahari terus mengintai para pendaki.

Monday, September 22, 2014

(Akhirnya) Aku Punya Lisensi Diving

Bedankt Mijn Leeraar, Suzanne!


Mendapatkan lisensi diving memang sudah ada di bucket list-ku dari sejak lama. Tapi entah kapan akan kejadian, waktu itu aku tidak pernah tahu.

Alasanku untuk mendapatkan lisensi diving adalah keinginan untuk melihat bawah laut Indonesia dan dunia yang indah ini dengan perspektif yang berbeda dari sebelumnya. Paling tidak, selama ini aku hanya melihat dari kacamata snorkeling atau freedive.

Hasil obrolan dengan Suzanne di chat, setelah menyelesaikan pendakian Gunung Rinjani, aku memutuskan untuk mengambil diving course di Gili, Gili Trawangan tepatnya.

Setelah melakukan survey beberapa dive shop/center di Gili, aku menyimpulkan bahwa semua harga yang dimiliki oleh dive center di Gili itu sama, sama-sama ngeselin!! Mereka sama sekali nggak punya harga Indonesia. Semua harga diukur sama dollar, meskipun mereka memberikan potongan 10% untuk warga Indonesia. Harga untuk openwater diving course adalah 380 USD, sekitar 4 jutaan jika dirupiahkan.

Tuesday, January 28, 2014

Cara Baru Menikmati Perjalanan.

Dimana pun terdapat orang hidup, kita berhak hidup disana. Mempelajari gaya hidup mereka, agar kita tidak sombong dengan gaya hidup kita sendiri.

Ini bukan malam biasa bagiku. Bukan biasa karena malam ini aku sedang berada di ibukota Kamboja, Phnom Penh. Bukan biasa karena aku sedang melawan kebisingan yang saling sahut-sahutan tepat dari seberang hostel tempat aku menginap. Aku sedang ingin beristirahat malam itu.

Lelah melawan, aku memutuskan untuk melihat apa yang sedang terjadi di sebrang jalan sekaligus sebrang sungai besar yang membelah kota Phnom Penh. Tidak butuh banyak waktu, aku sudah tepat di depan gerbang hostel. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat dan aku dengar, terlebih apa yang aku rasakan.

Warga lokal yang terdiri dari anak-anak kecil, anak baru gede, bapak-bapak, ibu-ibu sampai orang lanjut usia sedang kompak mengikuti pemandu senam berjoget ria. Saat itu, ada dua kelompok besar yang menyetel soundnya masing-masing denga keras. Aku terus tersenyum sambil sesekali mengambil gambar situasi unik ini. Setelah berpikir panjang dan membuang rasa ragu, aku putuskan bergabung dengan mereka untuk merasakan apa yang mereka rasakan. Ini sehat sekaligus bahagia dengan musik-musik bahagia.

Rasa bahagia tersebut jelas tidak akan bisa kita rasakan jika terus-menerus mengikuti pakem industri perjalanan yang sedang marak dan cenderung merusak ini. Rasa bahagia dan mempelajari tersebut haruslah kita jemput, harus kita yang mendatangi. Bagaimana menjemputnya?

Di hari yang lainnya, aku dan kawan seperjalanan sudah cukup lelah dan lapar melakoni tur 1 hari di Angkor Wat. Ditambah, kami bertiga memang sangat kurang tidur karena  tenggelam di serunya Siem Reap malam hari tadi. Perut terus memberi kode tanda harus diisi, aku putuskan untuk tidak makan “jajanan” yang berderet di dekat kawasan wisata Angkor.

Kami terus mengayuh sepeda pinjaman dari hostel menjauh dari Angkor Wat, sambil melihat-lihat situasu kota purba ini. Sudah sampai puncak lapar dan lelah kami, nyaris kami melewati warung kecil di pinggir jalan. Tanpa pikir panjang, kami bertiga langsung memarkirkan sepeda sembarangan. Tanpa disuruh juga, Nando langsung bertanya “you have a noodles?” Moon sang pemilik warung yang sehari-harinya “menarik” tuk-tuk mempersilahkan kami untuk duduk. Mie akan dimasak segera.


Tuesday, November 19, 2013

Mata Mati

Beberapa saat lalu aku baru sadar betapa mata yang aku punya ini begitu indah. Terlebih saat si Ayu bilang mataku lumayan berwarna coklat, masih menurut Ayu, mata coklat itu keren sekali. Saat itu untuk pertama kalinya aku sadar bahwa mataku berwarna coklat, bukan hitam seperti kebanyakan orang, lagi-lagi aku anti-mainstream. Maaf sekali jika ini terlalu keren, thanks Ayu.

Disusul dengan kejadian aku 'menaruh' satu tangan dengan jari yang berkembang, dengan jarak seperempat meter dari depan mataku. Kemudian, berusaha menaruh fokus di tembok yang berada jauh di belakang jari-jari, jari-jari pun blur bukan main. Sejurus kemudian, aku menaruh fokus mataku di jari-jari yang tepat berada di depan mataku, tembok pun blur bukan main. Meski terlambat, aku baru sadar bahwa kamera-kamera keren itu sangat meniru teknologi yang ratusan ribu tahun sudah ada pada tubuh manusia. Tuhan memang keren.